Rabu, 09 Agustus 2017

Kamu Tahu Candi Cetho Peninggalan Akhir Kerajaan Majapahit

 Kamu Tahu Candi Cetho Peninggalan Akhir Kerajaan Majapahit Candi Cetho disangka kuat adalah Candi peninggalan masa kerajaan Majapahir akhir, tempat Candi ada di lereng gunung lawu, persisnya ada di dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Karang Anyar, Kabupaten Karang Anyar – Jateng. 



Kompleks candi dipakai oleh masyarakat setempat dan peziarah yang beragama Hindu jadi tempat pemujaan. Candi ini adalah tempat pertapaan untuk kelompok penganut keyakinan. 
Candi Cetho tidak sama memiliki bentuk seperti pada candi Hindu di Jawa biasanya. Memiliki bentuk yang mirip punden berundak. Hal semacam ini menghadirkan rangkuman kalau jatuhnya Majapahit buat mulai timbulnya kembali kebudayaan asli orang-orang sekitaran. 

Candi Cetho Peninggalan Akhir Kerajaan Majapahit 
Candi Cetho Karanganyar sesungguhnya adalah bangunan candi yang terbagi dalam 14 teras yang berundak membentang dari barat ke timur (dari bawah ke atas). Tetapi yang tersisa hanya 13 teras, serta sayangnya sekali lagi pemugaran yang sempat dikerjakan hanya pada 9 teras saja. 


Penemuan Candi Cetho 
Catatan ilmiah mengenai kehadiran website Candi Cetho Karanganyar ini pertama kalinya oleh seseorang Belanda bernama Van de Vlies di th. 1842. Diluar itu ada juga sebagian pakar purbakala yang lain yang sudah membuat riset mengenai Candi Cetho Karanganyar ini, yakni A. J. Bennet Kempers, N. J. Krom, W. F. Sutterheim, K. C. Crucq, serta seseorang Indonesia bernama Riboet Darmosoetopo. Lalu pada akhirnya website Candi Cetho Karanganyar ini digali pada sekitaran th. 1928, serta dari situlah di ketahui kalau website ini dibuat pada saat akhir Majapahit di era XV. 

Tetapi bagaimanapun juga nyatanya masih tetap ada ketidaksamaan pendapat tentang th. pembuatan Candi Cetho Karanganyar ini. Terdapat banyak pakar yang memiliki pendapat kalau Candi Cetho Karanganyar ini sesungguhnya sudah dibuat jauh sebelumnya masa Majapahit, sedang Majapahit membuat candi (memugar) ini karna untuk dipakai kembali. 

Hal semacam ini berdasar pada bukti kalau candi ini dibuat dengan bahan basic batu andesit dengan relief yang begitu simpel sekali. Sedang umumnya candi masa Majapahit dibuat dengan memakai bahan basic batu bata merah serta mempunyai relief yang tambah lebih detil. 

Kondisi Candi Cetho Sekarang 
Pada kondisinya yang saat ini, kompleks Candi Cetho terbagi dalam sembilan tingkatan berundak. Sebelumnya gapura besar berupa candi bentar, pengunjung merasakan dua gunakan arca penjaga. Aras pertama sesudah gapura masuk (yakni teras ke-3) adalah halaman candi. Aras ke-2 masih tetap berbentuk halaman. Pada aras ke-3 ada petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur orang-orang Dusun Cetho. 

Sebelumnya masuk aras ke-5 (teras ke-7), pada dinding kanan gapura ada inskripsi (tulisan pada batu) dengan aksara Jawa Kuna berbahasa Jawa Kuna berbunyi pelling padamel irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku 1397. Tulisan ini ditafsirkan jadi peranan candi untuk menyucikan diri (ruwat) serta penyebutan th. pembuatan gapura, yakni 1397 Saka atau 1475 Masehi 

Di teras ke-7 ada satu tataan batu mendatar di permukaan tanah yang melukiskan kura-kura raksasa, surya Majapahit (disangka jadi simbol Majapahit), serta lambang phallus (penis, alat kelamin lelaki) selama 2 mtr. diperlengkapi dengan hiasan tindik (piercing) bertipe ampallang. Kura-kura yaitu simbol penciptaan alam semesta sedang penis adalah lambang penciptaan manusia. 

Ada penggambaran hewan-hewan beda, seperti mimi, katak, serta ketam. Simbol-simbol hewan yang ada, bisa di baca jadi suryasengkala berangka th. 1373 Saka, atau 1451 masa moderen. Bisa ditafsirkan kalau kompleks candi ini dibuat bertahap atau lewat sekian kali perbaikan. 
Pada aras setelah itu bisa didapati deretan batu pada dua dataran bersebelahan yang berisi relief kutipan cerita Sudamala, seperti yang ada juga di Candi Sukuh. Cerita ini masih tetap popular di kelompok orang-orang Jawa jadi basic upacara ruwatan 

Dua aras selanjutnya berisi bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi. 
Hingga sekarang ini pendapa-pendapa itu dipakai jadi tempat pelangsungan upacara-upacara keagamaan. Pada aras ke-7 bisa didapati dua arca di bagian utara serta selatan. Di bagian utara adalah arca Sabdapalon serta di selatan Nayagenggong, dua tokoh 1/2 mitos (banyak yang berasumsi sebenarnya keduanya yaitu tokoh yang sama) yang dipercaya jadi abdi serta penasehat spiritual Sang Prabu Brawijaya V. 

Pada aras ke-8 ada arca phallus (dimaksud " kuntobimo ") di bagian utara serta arca Sang Prabu Brawijaya V dalam bentuk mahadewa. Pemujaan pada arca phallus melambangkan ungkapan sukur serta pengharapan atas kesuburan yang melimpah atas bumi setempat. Aras paling akhir (ke-9) yaitu aras teratas jadi tempat pemanjatan doa. Disini ada bangunan batu berupa kubus. Dibagian tertinggi kompleks Candi Cetho ada satu bangunan yang pada saat lantas dipakai jadi tempat bersihkan diri sebelumnya melakukan upacara ritual peribadahan (patirtan). 
loading...
Previous Post
Next Post

post written by:

0 komentar: